Friday, December 5, 2008

Bab 1: Awal Yang Buruk

Aku menguap di sofaku yang panjang. Kotor, tetapi cukup nyaman. Aku sudah berjanji kepada Mom kalau aku akan menemaninya menonton telenovela kesukaannya. Jujur saja, aku sudah mengantuk, dan besok aku sekolah.
“Dre? Andrea!” Suara Mom membangunkanku dari dunia tidurku yang baru saja akan dimulai.
“Ya, Mom? Aku masih disini menemanimu.”,jawabku malas.
“Kurasa kau harus tidur, Dre. Kau besok sekolah.”
“Ya, tapi aku belum mengantuk.” Seratus persen kebohongan belaka. “Lagipula, aku sudah berjanji kepadamu.”
Malam itu, yang kuingat hanya jam wekerku menunjukkan pukul tiga pagi, dan aku merangkak ke tempat tidur dengan setengah sadar.

“Andrea? Andrea? Alexandra Garolen!”,teriak Mom . Aku yakin benar ia sedang berada di lantai bawah, tetapi suaranya terdengar sangat jelas dan melengking dari kamarku yang berada di lantai dua.
“Andrea, kau harus bangun! Sekolah!”
Sekolah! Sial, sudah jam berapa ini? Enam empat puluh dua? Aku mati hari ini. Aku berlari ke kamar mandi, dan menyikat gigiku asal-asalan. Aku memakai pakaianku, dan dengan langkah berat, aku berlari menuruni tangga, dan mengambil sepotong roti panggang, dan mencium pipi Mom .
“Hati-hati, Andrea.” Kata-kata Mom terdengar samar, tetapi aku mencoba mendengarkan.
Aku berlari ke pemberhentian bis, dan aku bersyukur tidak lama kemudian, bis datang. Aku segera naik, walaupun bis itu penuh sekali. Pria-pria berjas yang akan pergi ke kantor, anak-anak sekolah seperti diriku, bahkan seorang nenek-nenek yang membawa makanan burung di pangkuannya.
Tiba-tiba, aku merasakan kalau bahu kananku terkena cairan hangat. Oh tolonglah, ini bukan urin ‘kan? Ketika aku menoleh, seorang Mom tersenyum bersalah kepadaku, dan ia sedang menggendong anak kecil.
“Oh, maafkan anak saya, Nona.”,kata Mom itu. Sekarang aku tahu mengapa dia tersenyum bersalah.
“Oh ya, tidak apa-apa.”
Aku mengeluarkan tisu basah dari tasku, dan berusaha membersihkan noda berwarna cokelat itu. Akhirnya tidak lama kemudian bis sampai di tempat pemberhentianku. Aku berlari ke gerbang sekolah, dan ketika aku menginjakkan langkah pertamaku ke sekolah, bel berbunyi. Terima kasih sudah menunggu.
Kelasku ramai dan berisik. Anak-anak melempar-lempar bola kertas yang sudah dibasahi ludah. Kalau sampai ada yang mengenaiku… Plok! Satu bola kertas mendarat sempurna di atas kepalaku.
“Siapa yang melemparnya?”,tanyaku marah, tetapi masih datar.
“Tammi. Tammi yang melakukannya, Andrea.”,kata Jimmy.
“Jimmy! Bukan, Bukan aku, Andrea. Tetapi Andy. Ya, Andy yang melakukannya.”,kata Tammi.
Aku sudah tahu cerita ini. Mereka akan mengoper-oper kesalahan, dan akhirnya tidak akan ada yang mengaku. Aku berjalan keluar kelas dan membanting pintu. Kalau aku sedang merasa kesal seperti ini, biasanya aku akan ke kamar mandi, memasang headset, lalu menyetel musik sampai ke volume yang paling keras. Tapi kali ini sepertinya tidak bisa.
“Andrea!”, teriak dua orang bersamaan. Aku tahu mereka dengan pasti. Marisa, dan Jillian. Aku menoleh, dan mendapati bahwa pendapatku ternyata benar.
“Yep?”,jawabku pendek.
“Kau tidak masuk kelas?”,tanya Marisa.
“Aku akan ke kamar mandi sebentar. Kalian berdua juga tidak masuk ke kelas?”
“Mr. Auburn menyuruh kami mengambil buku di ruang guru. Bagaimana nilai-nilai ulanganmu?”,kata Jillian.
“Matematikaku seperti biasa. Jelek. Kalau ilmu sosial, masih bisa ditolerir.”
Marisa dan Jillian tertawa, akupun mengikuti mereka.
Marisa adalah temanku sejak kelas satu di SMA, dan kami sudah berteman kira-kira selama satu tahun. Sedangkan Jillian, dia teman baik Marisa, jadi, akupun ikut dekat dengannya. Marisa tipe orang yang selalu mengikuti perkembangan jaman. Pakaiannya mengikuti zaman, tasnya, antingnya, dan handphone-nya, mengikuti zaman. Jillian, ia adalah tipikal orang yang pendiam, dan bukan tipe orang yang bisa menjadi pemimpin. Ia hanya suka mengikuti orang yang ia anggap benar.
“Jadi, kau kemana hari Sabtu ini, Andrea?”,tanya Marisa.
“Um, kurasa Mom akan mengajakku ke toko swalayan. Jadwal belanja yang harus kupenuhi setiap bulan. Kau?” Aku menanyakan kemana Marisa akan pergi hari Sabtu nanti, karena aku yakin seratus persen, itulah yang diinginkannya. Itulah motif tersembunyi dibalik pertanyaan yang dia ajukan kepadaku.
“Aku akan ke pantai! Bisakah kalian bayangkan itu? Ayahku telah menyewa hotel yang langsung menghadap ke pantai. Dia bilang, supaya kami bisa melihat matahari tenggelam disana. Keren sekali, Momkan?”
“Oh.”
“Kau mau ikut, Andrea?”
“Oh tidak, tidak, Marisa. Kau tahu aku harus berbelanja.” Karena itulah kau mengajakku, karena kau tahu aku pasti menolak.
“Uh, sayang sekali. Bagaimana denganmu, Jill?”
“Maaf, sakit perut mingguan.” Jill menepuk-nepuk perutnya. Aku tidak tahu kalau Jill mempunyai sakit perut mingguan.
Tanpa sadar, ternyata aku telah melewati pintu kamar mandi. Daripada aku harus berjalan ke ujung lorong sambil mendengarkan celotehan Marisa, lebih baik aku mengakui kebodohanku, dan berjalan kembali. Aku bisa melihat mimik muka Jill mengkerut ketika tahu aku akan pergi.
“Maafkan aku, Jill. Mr. Brown bukan guru yang sabar.”,bisikku, lalu setengah berlari, aku kembali menuju kelasku.
Mr. Brown sudah duduk disana. Ia menyentak-nyentakkan kakinya ke lantai.
“Maafkan aku, Mr. Brown, sakit perut harian.” Aku menyontek alasan Jill, dan duduk di kursiku.
Dengan malas aku mendengarkan ocehan Mr. Brown. Aku mengantuk, apalagi tadi malam Mom memintaku menemaninya menonton telenovela. Aku menguap beberapa kali, sampai-sampai Tammi menoleh kepadaku.
“Belum pernah melihat orang menguap, ya? Aku mengantuk, tahu. Kalau mengantuk aku biasanya memakan manusia.”,kataku iseng.
Tammi bergidik, lalu langsung menoleh kedepan, ke Mr. Brown. Aku tertawa sedikit, dan berusaha agar Mr. Brown tidak melihatku.
“Bapak mau hari Jumat, kalian membawa buku kumpulan puisi, lalu kalian pilih satu puisi, dan bacakan puisi itu di depan kelas.”,kata Mr. Brown.
Buku kumpulan puisi? Aku tidak punya buku itu dirumah. Terpaksa pulang sekolah nanti aku harus ke toko buku. Terpaksa pulang sekolah nanti aku tidak bisa langsung pulang dan tidur.
Hari ini hari berjalan dengan lumayan cepat, dan tanpa terasa, sudah pelajaran Mrs. Finn, pelajarn terakhir. Beberapa saat kemudian, bel berbunyi, dan aku langsung pergi meninggalkan kelas, walaupun aku tahu Marisa ada dibelakangku.
“Kau langsung pulang, Andrea?”,tanya Marisa.
“Ya, aku lelah, Marisa. Ada apa?”
“Mau kuantar? Ayahku baru saja membelikanku sedan keluaran Honda yang terbaru. Kau harus mencobanya. AC-nya dingin sekali.”
“Marisa, aku minta maaf sekali. Aku lupa kalau aku harus pergi ke toko buku. Mr. brown memintaku membawa buku kumpulan puisi. Maaf sekali.”
“Well, aku bisa mengantarmu ke toko buku. Jaraknya lebih dekat.”
“Tidak usah, tidak usah. Aku tidak mau merepotkanmu. Oke, kalau begitu, sampai jumpa besok.” Aku langsung pergi meninggalkannya, dan berjalan cepat ke toko buku. Jarak toko buku dari sekolahku cukup dekat, jadi aku tidak perlu naik bus.
Ruas jalan yang harus kulalui untuk mencapai toko buku memang selalu sepi, tetapi tidak pernah sesepi ini. Bisa kulihat, mungkin hanya aku yang sedang berjalan di daerah ini. Aku agak khawatir, tetapi, mau apa lagi? Aku berjalan cepat, dan langsung membuka pintu toko buku. Aku memang kaget kalau ruas jalan diluar sepi, tetapi untuk urusan sepinya toko buku, aku tidak kaget.
Aku mencari-cari di rak, dan tanpa memakan waktu lama, aku menemukan buku itu. Kumpulan puisi. Di sampulnya ada tulisan-tulisan nama-nama orang yang tidak kuketahui, tetapi aku yakin kalau itu adalah nama pengarang puisi yang puisinya ada didalam buku itu. Aku berjalan ke kasir, tetapi tidak menemukan satu orang-pun. Di meja kasir, ada tulisan.
SILAHKAN PENCET BEL DISAMPING JIKA TIDAK ADA
KASIR YANG MELAYANI ANDA, TERIMA KASIH.
Seperti apa yang tertulis di tulisan itu, aku memencet bel, dan tidak lama kemudian keluar seorang kakek tua dari ruangan yang ditutupi tirai. Ia lalu mengambil buku yang kuserahkan, dan mengetik nomor barcode buku itu di keyboard komputernya.
“Dua puluh dolar.”,katanya lemas.
Aku menyerahkan dua lembar uang sepuluh dolaran, lalu menerima bungkusan plastik yang diberikan oleh kakek itu.
“Terima kasih, datang lagi.” Lalu ia kembali ke ruangan dibalik tirai itu.
“Sama-sama.”,gumamku, lalu pergi.
Aku membuka pintu, dan menemukan jalan sama seperti ketika aku datang. Sepi sama sekali, hanya ada aku. Aku berjalan dengan cepat, dan tanpa melihat kedepan. Hari lumayan dingin, tetapi untungnya aku mengenakan jaket cukup tebal.
Aku berjalan menuju perempatan, dan tiba-tiba, sesuatu terjadi dengan cepat sekali. Dua mobil sedan, dua-duanya hitam, sama-sama mengkilap, tetapi salah satu dari kedua mobil itu lebih bagus. Kedua mobil itu sedang berjalan dengan kecepatan tinggi, dan yang kutahu, mereka kejar-kejaran. Mobil yang bagus sekali mengejar mobil yang bagus. Dan tepat di depanku, kedua mobil itu berhenti. Apapun yang terjadi, yang kutahu pasti adalah kalau supir mobil bagus membanting setir ke kiri. Akupun langsung jatuh tersungkur ke ujung jalan, dan punggungku membentur tembok.
Seorang pria, wajahnya bersih putih, berambut pirang, keluar dari mobil yang bagus sekali sambil membawa senapan besar. Aku tidak tahu apakah ia memang menutup pintu dengan keras, atau aku hanya mendramatisir, ketika pria bermabut panjang itu menutup pintu mobil, suara berdebum yang keras, hampir mencopot jantungku.
Pria itu berjalan mendekati mobil sedan yang bagus, dan menembaki mobil itu. Menembakinya. Suara tembakan yang keras sekali terdengar oleh telingaku. Yang bisa kulakukan hanyalah menutup telingaku sambil menangis terisak.
Aku merasa kalau lama sekali pria itu menembaki mobil sedan itu. Tetapi beberapa saat kemudian, dia berhenti, dan kembali ke dalam mobil yang bagus sekali, dan menutup pintu mobil.
Apakah sudah selesai? Apakah baku tembak ini sudah selesai? Ternyata tidak, seorang malaikat, malaikat? Seorang pria, pemuda, yang sangat tampan, keluar dari mobil yang bagus sekali. Langkahnya ringan, dan rambutnya terkena terpaan angin. Bahkan disaat seperti ini-pun, aku masih bisa terpesona oleh keberadaannya.
Pemuda itu mendekati mobil bagus yang sekarang sudah jelek sekali, bolong-bolong, dan membuka pintu belakangnya. Ia memasukkan badannya setengah ke mobil itu, lalu keluar dengan menyeret seorang lelaki yang sudah tua. Tunggu dulu, aku tahu siapa pria itu. Apakah dia Angelino? Angelino Le’Cronzes? Pemuda itu mendudukkan Angelino Le’Cronzes di trotoar di seberangku.
Bisa kulihat, Angelino Le’Cronzes seperti memohon-mohon kepada pemuda itu. Memohon-mohon apa? Agar ia tidak membunuhnya? Pemuda itu lalu mengangguk sekali, dengan lembut, dan meninggalkan Angelino.
Dan kejadian yang kulihat menyeramkan sekali. Angelino Le’Cronzes mengambil pistol dari saku dalam jasnya, dan berniat menembak pemuda itu. Tetapi dengan sigap, pemuda berambut panjang, yang berada di dalam mobil, langsung keluar dari mobil.
“Jino!”,teriaknya, lalu dengan sekali suara tembakan, Angelino Le’Cronzes tertembak di bagian dahinya.
Aku teriak, teriak kencang sekali. Aku rasa itu adalah hal yang wajar. Malahan aku mungkin bukan orang yang wajar, ketika aku hanya menutup mulutku saat pria berambut panjang itu menembaki mobil Angelino Le’Cronzes. Tetapi seperti orang wajar lainnya, aku langsung menutup mulutku.
Pria yang berambut panjang langsung mendekatiku, tetapi dengan sigap, pemuda yang tampan, yang bernama Jino, menghalanginya. Mereka sempat berargumentasi, sepertinya, lalu pemuda tampan itu mendekatiku. Aku langsung mundur, dan siap-siap menyemprotnya dengan semprotan mericaku.
“Kuharap kau tahu membalas budi,”,katanya, lalu pergi meninggalkanku begitu saja dengan mayat Angelino Le’Cronzes, beserta bangkai mobilnya.
Aku terdiam, syok setengah mati. Aku sesak napas. Aku punya penyakit asma. Tetapi aku sadar kalau aku tidak bisa berlama-lama berada di sini, karena pasti sebentar lagi polisi akan datang. Aku berlari, berlari cepat sekali, tidak melihat kebelakang, dan hanya ingin pulang.
Ketika akhirnya aku bisa melihat rumahku, aku langsung berlari lebih cepat, dan membuka pintu tanpa berpikir apapun.
“Andrea? Andrea! Ada apa?”,tanya Mom . Dari nada suaranya, aku tahu dia sangat khawatir.
Aku tidak menghiraukan Mom, dan segera menaiki tangga menuju kamarku. Aku menangis berjam-jam, sampai akhirnya disekitarku gelap. Aku tertidur.

“Andrea? Aku membawakanmu makan malam.”
Mom mengusap-usap dahiku. Aku langsung membuka mataku yang sembab, dan bangkit dari tempat tidur.
“Kau tidak keluar sejak tadi siang. Dan ketika aku memanggilmu untuk makan malam, kau tidak menjawab.”
“Maaf, Mom. Aku tertidur.”, jawabku. Suaraku gemetar, perutku mual, dan kepalaku pusing. Aku segera mengambil piring yang berada di tangan Mom, lalu mulai menyendok kentang tumbuknya.
“Ada apa, Andrea?”
“Tidak ada apa-apa, Mom.”
“Kau adalah anakku. Kau sudah hidup bersamaku selama lebih dari enam belas tahun. Sekarang, katakan kepadaku, apa yang terjadi.”
“Baiklah. Aku mengikuti seleksi cheerleader, dan aku tidak masuk.” Aku tahu ini adalah alasan yang bodoh, tetapi aku tidak bisa memikirkan alasan bohong lain yang lebih bagus.
“Kau? Mengikuti seleksi cheerleader?” Mom mengerutkan dahinya.
“Ya. Lalu? aku tidak menyukai cheerleader bodoh itu. Aku hanya ingin menguji diriku, apakah aku lebih baik dari gadis-gadis bermabut pirang itu, atau tidak. Hanya karena warna rambutku seperti merah darah, bukan berarti mereka bisa merendahkanku.”
“Tetapi, kau pernah mengikuti kelas karate sewaktu di SMP. Aku yakin kau masih menguasai satu atau dua gerakan gimnastik, bukan?”
“Ya, Mom, tetapi kapten cheerleader itu sudah mengenaliku. Sebelum aku memperlihatkan kemampuanku, aku sudah diusir dari gimnasium.”
Mom berdecak, lalu mengusap rambutku.
“Kalau kau tidak mau menceritakan hal yang sebenarnya, tidak apa-apa, Andrea.”,kata Mom, lalu keluar dari kamarku.
Aku menghela napas lelah, lalu mulai menyendok lagi. Aku tahu merupakan hal bodoh membohongi Mom yang sudah sangat mengenal diriku, tetapi tidak ada pilihan lain. Tidak mungkin aku mengatakan kepadanya kalau aku menjadi saksi adu tembak yang sangat-sangat brutal. Mom bisa mati sakit jantung bila mendengarnya.
Tapi, tidak apalah. Aku harus menyembunyikan maslaah ini selama mungkin.
Mungkin, karena Mom tahu rencanaku, ia tidak pernah menanyakan hal tentang kemarin lagi pagi ini.
Mom meletakkan koran pagi ini di hadapanku. Aku bisa melihat dengan jelas judul artikel terdepan koran itu.
MAFIA BADINE TELAH KEMBALI,
ANGELINO LE’CRONZES TEWAS DALAM BAKU TEMBAK
“Keluarga mafia Badine?”,tanyaku dengan suara melengking.
Ibuku langsung berbalik dari pancinya, dan menatap kearahku.
“Ya, Badine. Kenapa, Andrea? Sebenarnya aku sudah tahu kalau cepat atau lambat keluarga Badine akan kembali menguasai jalanan.”
“Jadi, kemarin, yang dihadapanku itu adalah para Badine?”,gumamku pelan.
“Maaf?”,kata ibuku.
“Eng, tidak, apakah menurut Mom pancakenya tidak lebih asin?”
“Benarkah?”
Mom menyendok pancakenya, dan menatap aneh kearahku.
“Kurasa tidak, Andrea. Mungkin ada yang salah dengan lidahmu.”
“Oh ya, mungkin.”
Aku mengambil tasku, dan mengecup pipi Mom.
“Dah, aku berangkat, Mom.”
“Hati-hati di jalan, Andrea. Jangan sampai tertangkap oleh para Badine.”,kata ibuku.
Aku bisa merasakan kalau semua darahku naik ke kepala, dan kepalaku langsung pusing. Aku mual.
“Andrea? Ayolah, aku cuma bercanda.”
“Heh oh ya tentu saja bercanda.”
Aku melangkah pergi, tetapi mualku belum juga hilang.
Ketika aku baru sampai di sekolah, Marisa langsung berjalan kearahku, walaupun aku sudah berusaha menghindar. Apakah Ayahnya memberikannya kontak lens yang khusus untuk menemukan orang yang dia cari?
“Hei, Andrea!”,katanya sambil menepuk pundakku. “Kau sudah baca koran hari ini?”
Tentu saja sudah, yang artikel utamanya tentang baku tembak yang hampir membunuhku itu, ‘kan?
“Belum, aku kesiangan hari ini, jadi buru-buru. Memang ada apa?”,jawabku malas.
“Keluarga Badine kembali, Andrea. Kemarin mereka terlibat baku tembak dengan keluarga Le’Cronzes. Dan kau tahu? Bagian terbaiknya adalah mereka mengambil anggota baru!”
Anggota baru? Kukira mereka keluarga, bukan suatu perkumpulan.
“Maksudmu, salah satu dari mereka ada yang melahirkan?”
“Ya ampun, Andrea! Tolonglah. Jadi begini, sewaktu Michael dan Anthony Badine dipenjara, Andrew dan Cecil Badine, pergi ke Barcelona, Spanyol, mereka mengadopsi seorang anak, seorang laki-laki, seumur dengan kita!”
Jangan katakan kepadaku kalau pemuda itu adalah Jino.
“Oh ya?”,kataku sok tertarik. “Siapa namanya?”
“Jino.”
“Apa?”
“Ya, Jino. Jino Badine.”
“Jino?”
“Iya, Alexandra. Kudengar Andrew dan Cecil melihat Jino di Barcelona, menjadi pemetik lavender.”
“Pemetik lavender tidak jelek.”
“Tetapi lebih bagus menjadi mafia.”
“Jadi, Jino diadopsi saja, begitu?”
“Kudengar sih, belum secara resmi, tetapi Andrew telah membayar sebanyak seribu dolar kepada pemilik kebun lavender itu.”
“Wow, seribu dolar.”
“Iya, mereka kaya sekali, bukan? Apalagi Jino. Jino Badine itu. Dia tampan sekali, Andrea. Aku melihatnya di koran.”
Di koran? Aku pernah melihatnya langsung. Dia lebih tampan jika dilihat langsung daripada dilihat di koran.
“Ya, aku percaya. Dimana Jillian?”
“Aku tidak tahu, tapi itu dia.”
Jillian mendekatiku dan Marisa dengan wajah datarnya, dan tubuh bungkuk. Sepertinya tas backpacknya berat sekali.
“Selamat pagi, Andrea, Marisa.”,sapanya ketika melihat aku dan Marisa.
“Ya, pagi.”,jawab Marisa.
“Pagi, Jillian. Backpackmu sepertinya berat sekali.”,kataku.
“Iya, Mr. Jacob harus membayarnya.” Jillian tertawa.
“Kau mengambil mata pelajaran Mr. Jacob? Dia ‘kan genit, Jill.”,kata Marisa.
“Yang penting, dia ‘kan tidak genit kepadaku, Marisa.”
“Well, dia genit kepadaku.”
Aku mengerucutkan bibir, dan memandang Jillian. Dia tertawa sedikit, tetapi ditahan.
“Oh, sekarang aku tahu bagaimana selera Mr. Jacob kalau begitu.”,kata Jill.
“Apa maksudmu, Jill?”,kata Marisa, sepertinya ia marah.
“Maksudku, dia hanya mengincar wanita cantik sepertimu. Untung saja, aku tidak cantik, jadi dia tidak akan genit kepadaku.”
Tertawaku mau meledak, tetapi aku hanya batuk kecil, dan Marisa langsung menatap galak kepadaku.
“Oh, kalau begitu, baguslah. Sampai jumpa saat makan siang.”,kata Marisa, lalu berjalan pergi.
Aku dan Jill langsung tertawa, dan akhirnya kami berpisah. Jill ke lantai dua, sedangkan aku berjalan menuju kelas Mrs. Green.
Di kelas, anak-anak terus membicarakan tentang kembalinya mafia Badine. Apalagi Jino. Mereka selalu mengatakan kata ‘Jino’ sesudah kata ‘adopsi’ atau ‘mengambil’, kurasa seharusnya ada kata yang lebih baik daripada itu.
Anastasia, temanku di kelas Mrs. Green, mengatakan sesuatu kepadaku yang tidak akan pernah kulupakan.
“Andrew Badine sudah menjadi mafia besar ketika ayahku masih muda.”,katanya. “Ayahku mengatakan kepadaku, kalau mafia sudah memegang kendali, akan menjadi awal yang buruk, bagi apapun.”
Aku menelan ludah. Tetapi, ketika mengingat kea=jadian kemarin siang yang hampir membunuhku, kurasa ayah Anastasia benar.

No comments: